A late afternoon
above the sea at Rembang was beautiful although it took me back in silences …
Ini bukan cerita
ketika aku berpetualang ke suatu tempat seorang diri untuk beberapa hari jika
libur tiba. Hal biasa yang sering didengarkan sahabat – sahabatku apalagi bang
Resha Ardianto. Hobby yang gak penting katanya. Penting buatku ketika aku bisa bertemu dengan
orang – orang baru di tempat tersebut dan berinteraksi dengan mereka. Teman –
teman dekatku gak asing jika
mendengarkan ceritaku tentang Semarang, Pekalongan, Kudus, Solo, Jogja,
Wonosalam, Pacitan, Kediri, Jember, Madura dll (sampek lupa, tapi yang jelas
aku belum berani luar pulau sendirian) . Akhir – akhirnya mereka bilang
‘percuma, mbolangmu gak numpak truk, gak asyik’ wkakakakak, yang penting dewean.
Tapi kali itu bang Resha shock dengerin cerita kalau aku pergi antar provinsi
sehari balik. Yeah, ini kota kecil yang terkenal hanya dengan satu produk kacang
mendunia sehingga termasuk devisa negara dari kota kecil tersebut. Intinya aku
sebagai crazy girl at that moment. Bang Resha pun sudah bisa menebak ketemu
siapa aku disana ^.^
Pamit mommy
dengan seribu alasan. Kuparkir motor di bungurasih tepat pukul 06.20 WIB.
Capcus cari bus patas tujuan Semarang pemberangkatan 07.00 WIB. Itu kali kedua
naik bus dengan tulisan di atas dasboard “witing trisno jalaran soko kulino” .
Agak geli baca tulisan itu kedua kalinya ‘bus sama setahun sebelumnya’. Tapi
kulino untuk mencintai orang yang sulit didapatkan itu seperti naik roller
coster, membangkitkan adrenalin ‘hashhh, sudah sudah. My first sight at that
moment’.
Bus melaju
menyusuri Pantura. Bukan jalanan yang asing lagi bagiku karena hampir sering
kulewati. Yang asing adalah mentalku saat itu. Bingung bagaimana harus bersikap
di depan seseorang karena kebodohan dan kengengkelanku ‘sampek saat ini dia
selalu nyebut aku cewek ngengkelan’. Sudah, dipikir nanti didepanya saja.
Kuambil HP. 1 messege received, Uun Mufarida. Oh, God. Moment nya gak tepat. Sangat
tidak mungkin aku jujur mau kemana aku saat itu, bisa-bisa dikutuk tujuh
turunan dengan logat Lampung nya yang aku kurang paham apa arti kata – kata
tsb. Yah ngobrol di sms saat itu sewajar
mungkin. Walaupun harus bohong dengan kata ‘aku lagi bermalas-malasan di
kamar’. Hari itu lantunan doaku sepanjang perjalanan hanya untuk meminta
ampunan kepada Tuhanku tentang kebohonganku, kenekatanku, dan keselamatan
sampai tujuan.
Pati, 24
September 2011. Tepat jam di HP pukul 12.55 WIB. Aku turun dari bus dan sms dia
‘jemput aku, udh d dpn rmh skt’. Gak berani nyebrang sendiri. Jalanya lebar.
Gak lucu juga kan kalau ada pemberitaan apalagi headline PiThonkkk ditemukan tertabrak
truk di kota orang. Hati – hati hari itu dan bersikap sok manja pake’ acara
minta jemput hanya untuk menyebrang.
Dia ‘panggil si
batu, aku suka memanggilnya begitu’ keluar dari rumah sakit dan aku tahu
tatapan wajah bingung antara pengen marah dan gak tega marahin aku ‘GR mannn
gue’. maafin aku bang. Mungkin dia
saat itu juga mangkel ma sikapku yang mesti ngeyel, udah dibilangin gak usah
padahal. Tapi aku tahu, dia bukan orang yang memperlihatkan kemarahanya di
depan orang lain. Pwol – pwolan aku gak di reken dan didiamkan beberapa hari,
gak pernah lebih seminggu kok ^_^, jadi santeee cusss. Yah itu konsekuensiku.
Pikir setelah balik Surabaya aja lha.
Keluarga Sehat *sebut
merek, majas* kalau gak salah nama rumah sakitnya pas itu. Naik tangga ke
lantai 3. Seorang wanita menggendong adik kecil, yang aku yakin itu ponakan nya
Batu yang kelima, tersenyum kepadaku. ‘dari Surabaya jam berapa tadi?’ jreng
jreng. Tidak semenegangkan pemikiranku selama di bus tadi. Beberapa keluarga
besar Batu nampak ada di satu tempat berkumpul. Mencoba membuka obrolan demi
obrolan. Di kamar mana bapak di rawat??? 5 10 15 20 menit kutunggu sambil
melihat terus tulisan ICU yang tertempel di ruangan dekat aku duduk. Belum ada
obrolan tentang sosok bapak. Mereka semua sangat tegar dengan suasana yang saat
itu aku tak mampu untuk mengimajinasikanya lagi. Oh, God.
Tepat
dua tahun sebelum saat itu, bapak Batu terkena stroke serangan satu. Setelah
bapaknya terkena stroke dan dinyatakan sudah mulai membaik, Batu kembali ke
Pare. Aku belum mengenalnya saat itu. Bahkan gak pernah peduli siapa dia.
Wajahnya yang mana aja gak pernah paham. Akhir Oktober 2009 seingatku, saat aku
bergabung di salah satu event tiga bulanan BEC. Aku menjadi sie acara. Ada
kalau gak salah ingat sekitar 9 orang yang mengurusi acara dengan bagian masing
– masing. Sampai akhirnya rapat perdana sie acara, kita memperkenalkan nama
satu demi satu. Ada yang ganteng dan aku sempat mengenal masnya sebelumnya.
Kita sempat ngobrol beberapa kali. Namanya mas Habib. Target ini, target kedua
*target pertamanya Syarifudin Kamal yang udah paham semua pinternya. Sayangnya
aku belum kenal*. Udah pinter, ganteng, sopan, sabar, alim, dan lagi aku pernah
ketemu dia ngaji di mushollah, wes nyaris perfect lha. Malah beberapa kali
masnya sms aku buat tetep semangat belajar walaupun jauh dari rumah *kumat
ganjen, padahal pas jaman SMA gak pernah lho ngurusin namanya cowok. Intinya tetep aku gak mau pacaran*.
Beda ma Batu, jauh. Ketika aku melihat Batu pertama kali, aneh banget nih
cowok. Namanya aja udah aneh, apalagi orangnya. Sepertinya aku pernah ngobrol
denganya ketika event sebelumnya. Hanya saja saat itu aku sebagai sie konsumsi
dan entah dia punya kedudukan di sebelah mana. Aku pegang drama di sie acara
kali itu dengan mbak ‘aku lupa namanya’ dan ternyata dia ‘si Batu’ partnerku
buat back sound nya ‘sementara’. Oh, God. Kenapa gak mas Habib aja yang pegang
back sound??? Cowok aneh itu malahan. Nama sampek senyumnya pun aneh buatku. Persetan
lha. Asalkan dia masih bisa diajak ngomong aja gak masalah atau asalkan dia
sepintar mas Habib dan Syarifudin Kamal, he he. Pelajaran nomer tujuh ‘jangan pernah membenci orang kalau gak mau
terkena karma’.
Setelah
event itu selesai, aku jadi dekat dengan Batu ‘mas Habib kemana mas Habib?’.
Dari sms nya dia yang hampir tiap hari, sharing, tanya alamat e-mail dan fb,
makan bareng, ditemenin duduk di depan kosanku, sampek diboncengin naik sepeda
ontel kebo *bayangin badan gendutku pas itu*, lha kok udah gak benci lagi ma
nama dan senyumnya #eeeaaahhh *andaikan dia mas Habib atau Syarifudin Kamal,
mimpiku*. Sampek menjelang akhir Desember 2009, aku lupa tanggal berapa. Malam
sebelumnya dia seperti biasa temenin aku duduk di depan kosan. Ngobrol masalah
agama ma masa – masa SMA kita. Pas omongin agama, kupanggil juga mbak Faul ‘teman
sekamarku’ untuk meluruskan ajaran agama yang disampaikan Batu tentang sholat
subuh yang gak sejalan ma pemikiranku. Sharing bertiga dan Batu kalah telak,
wekkk!!! Paginya tumben – tumbenan sms lagi buat tanya ‘dimana? Aku mau
kembaliin *tit(gak elite kalau disebut disini)*’ . Yah weslah setelah ngengkel
tanya – tanya gak dijawab, akhirnya dia ke kosan di depan 11 teman kelasku yang
saat itu sedang latihan teater buat event mingguan di kosanku. Terbongkar deh
aku lagi deket ma siapa ‘kayae aku aja yang GR saat itu, he he he’ apalagi ada
Fifit yang langsung nyebarin berita pas kelas. Sampai saat aku pegang stang
speda ontel pinjeman *tumben gak pake’ yang kebo* menahan dia agar gak pergi
dari Pare *kok jadi sinetronan*. Dia tetep gak cerita alasanya kenapa ninggalin
Pare setelah malam sebelumnya janji buat belajar serius gak kaya’ sebelumnya.
Pengen teriak, ‘ojok ninggalin aku ta’ tapi siapa saya saat itu. Setengah jam aku
tahan sampek akhirnya dia yakinin dengan kata ‘tenang, aku balik kok’ . Setidaknya membuat saya sedikit lega sesaat
walaupun gak paham alasanya apa buat ninggalin Pare. Sial -.-a , perasaan saya
kenapa toh ya Allah? Crazy feeling, crazy, bahkan sudah mad kaya’nya dan begitu toh ternyata rasanya di dua bulan
pertamaku mengenal sosok yang sangat sederhana, apa adanya, dan tidak banyak
bicara.
Setelah
si Batu ninggalin aku hari itu dan aku berangkat ke BEC, mbak Lulu nyamperin
aku dan bisikin ‘bapaknya ‘batu’ sakit. Kamu tahu?’ . Aku bilang aja enggak
tahu. Kaget tapi setenang mungkin. Malas panjang lebar aku buat diceritain dan
tanya - tanya. Sesiang itu sampek tiga harian setelahnya sms anku ma dia gak
berhenti. Tapi sama sekali aku gak berani tanya kenapa dia pulang. Aku masih
pura – pura gak tahu kalau bapaknya sakit dan pernah terkena stroke serangan
satu. Akhirnya setelah semingguan dia di rumahnya dan aku masih di Pare,
kuberanikan untuk tanya masalah bapaknya. Dia jawab singkat dan hanya minta
doa. Malah dia lebih asyik kalau lagi tahun baru’an ma ponakanya yang lagi
berkumpul dan main kembang api. Yah selain sebagai anak bungsu dari tiga
bersaudara, dia sudah jadi om dengan lima ponakanya yang katanya gemesin dehhh.
Tapi emang gemesin kalau inget si paling
kecil yang cewek pas pinjemin aku gelangnya ‘lupa nama’, sok akrab banget gue.
Tepat
10 Januari 2010. Aku balik dari Surabaya ‘kebetulan pas itu mamaku abis masuk
rumah sakit dan aku harus beberapa hari di Surabaya’ dan dia balik dari Pati.
Yeeehhh, ketemu deh. Turun dari mobil, aku secepatnya langsung sms dia ‘aku bawa
jeruk, ambil di kosanku yah’. Belum buka kamar kosan juga pas itu. Diapun
datang. Masih dengan senyum aneh dan wajah borosnya ‘eh maap ^,^ ‘ . Akhirnya
yah dia certain tentang bapaknya. Aku mulai tahu bagaimana sosok bapaknya.
Sebelumnya dia pernah cerita bersyukur punya sosok bapaknya. Unsur implisit nya
ada yah ketika dia bercerita tentang dimasukkan ke pondok sama bapak.
Sepertinya bapak seperti super hero buat dia. Aku bisa bayangin tentang sosok
sempurna ayah jika masih ada. Aku yakin seperti bapak yang selalu diceritakan
Batu. Aku merasa ada ketika dia
menghidupkan ceritanya tentang bapaknya yang aku tidak pernah paham tentang
ayahku.
Beberapa
kali jalan kaki keliling Pare dan beberapa kali mampir ke rumah tanteku sama
Batu. Mungkin orang menganggap gak penting, tapi bagiku itu moment yang gak
pernah aku dapatkan sebelumnya. Jalan kaki muterin kota yang lumayan juga buat
membakar lemak tubuh di pagi sampek siang hari ‘alasanya jogging yah’, malah
pernah abis dzuhur sampek abis ashar *geleng – geleng kalau inget* pas anterin
dia ke bank buat bayar test Undip. Gak cuma jalan kaki, dari situ kita sharing
masalah serius pemerintahan ‘ngesok mannn’, kadang cerita tentang keluarga
masing – masing, terus pengalaman yang kita beda antara hidup di rumah dan
lingkungan pondok, guyonan – guyonan, foto – foto ‘mejeng bentar dan gantian
motho biasanya’, sampek buku terbaru yang biasanya gantian bacanya. Pernah yah
candle light dinner yang gak disengaja pas abis kehujanan. Jadi pas kita
nyempatin makan bareng sekitar abis magrib, eh lampu mati. Lilin jadi
penerangnya. Sialnya makanannya dikerubutin laron, ‘iki peyeknya’ kata dia. Ha
ha ha, pengen ngakak kalau ingat. Apalagi pulang agak malem dianterin naik
sepeda ontel ^,^ Hal paling asyik ketika aku bisa bertukar ilmu tentang agama
darinya yang aku kurang paham. Saling bangunin tahajud ‘eh, lebih sering aku
yang bangunin. Dia kan kebooo’. Akupun
belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya, kenyamanan. Dari situ aku banyak tahu karakternya dari sosok
sederhana kukagumi. Aku yakin sifatnya gak jauh beda ma super hero di
keluarganya, bapak yang aku yakin saat ini selalu dirindukanya walaupun dia
masih gak cerita pas tak tanyain seminggu lalu tentang September ‘dasar Batu’.
Pernah
dia bercerita ingin kuliah di Surabaya ajaran 2010. Aku jadi ikut semangat.
Kukirim buku test sesuai tempat yang ingin dituju dia, tentang IT. Tapi kondisi
bapak yang tidak memungkinkan dia jauh dari Pati. Yah, aku harus siap dan kuat
tanpa dia sebagai teman sharingku lagi. Yah, gak ada yang boncengin ontelan ma
jalan kaki gak jelas arahnya lagi. Aku berusaha menguatkanya kalau kita masih
bisa sharing lewat sms, telpon, chatting. ‘restu orang tua itu segalanya,
sampean harus nurut buat gak kuliah di Surabaya’ setegar mungkin kata itu dari
mulutku. Wuihhh, hatiku perang mannn pas itu ma lidahku. Aku coba kuat. Kuat. Kuat. Dan kuat. Akhir
Maret 2010 ‘kalau gak salah ingat tanggal 25’ kita akan kembali ke kota masing
– masing. Jalan ke alun – alun lha buat cari makan sebelum nantinya kita gak
akan pernah dapet moment itu lagi ‘ideku ceh’. Dari alun – alun, dia anterin
aku sekalian ambil sepeda ontelnya di DEC dan lagi, aku selalu menahan dia
kalau mau perpisahan. Aku diam lama di
depanya, diapun juga diam gak tau kudu ngapain lihat tingkahku. Kita gak
bakalan bisa ketemu lagi bang. Asal kita aja udah beda. ‘malam ini malam
terakhir bagi kita, mencurahkan sgala rindu di dada …’ suara Faiz ma Zein yang
ada di halaman DEC sebenernya buat aku ngakak, tapi gak mungkin kulakukan pas
itu. Cuocok banget yah momentnya, pengen lemparin sandal. Beneran pengen tak
kutuk jadi kodok tuh mereka. Aku langsung masuk kosan dan gak ngomong apa – apa
pas itu ke Batu. Nyelonong aja. Aku pengen tidur. Malam itu cuma mimpi buruk
kok mama -.-“ tapi aku gak mau bangun besok pagi. Aku gak mau sadar kalau Batu
gak bisa temenin aku lagi. Aku gak mau yang sedih – sedih pokoknya.
Aku
mulai disibukkan di camp bimbel pilihan mama dan Batu di Pati ambil bimbel juga
buat hadepin test Undip dan SNM PTN. Aku sadar, aku harus tinggalin hal yang
mbuat aku gak focus *ya Allah, aku kenapa toh pas itu*. Mulai gak kubalas sms
nya. Tapi setelah tiga hari, kok jadi gak tega yahhh. Menghilangkan kebiasaan itu sulit. Tepat sejam sebelum dia
mengikuti test Undip, dia telpon aku buat doain. maafin aku bang gak bales sms mu. Everything is gonna be OK aja wes
pikirku karena aku sangat yakin juga dia baik. Apalagi pas itu kalau udah
sharing di telpon pasti lebih dari sejaman. Apalagi kalau malem, gak rela kalau
disuruh nutup telpon *pernah yah mulai jam 22.00 – 00.40an WIB*opo ae yang
dibahas yoh pas itu. Aku kuliah di Surabaya, dia di Semarang. Sms ma telpon
masih jadi media favorite sharing kita. Bener
– bener enak ngobrol ma dia, gak pake’ jaim – jaiman pisan ‘GR yah kalau
dia tahu’. Di akhir 2010 aku sempat liburan empat hari di Semarang bareng ma
Batu dan Uun Mufarida *foto – fotonya masih ada. Biarkan jadi cerita kita bertiga
aja deh. Tak taruh di mac biar gak ada yang lihat. Kan jarang dibawa kemana –
mana si mac*. Ngobatin kangen ma mereka setelah sembilan bulan gak ketemu. Dan
saat itu pula dia semangat cerita kalau bapaknya sudah membaik. Udah bisa jalan
– jalan pake’ tongkat. ‘alhamdulillah’ kataku tersenyum lihat dia semangat di
akhir 2010. Mata Batu selalu bisa aku tebak. Saat itu rasanya damai banget
lihat senyumnya, andaikan wajahnya gak boros ^,^ pasti tampan ‘GueR yah kalau
aku bilang tampan di depanya, cukup aku panggil perut jemblung aja sekarang’.
Setelah
aku balik dari Semarang, batu jarang cerita tentang sakit Bapaknya. Dia selalu
bilang kalau bapak semakin membaik. ‘syukur deh’ kataku. Sempat juga kita
guyonan di telpon pas 6 April 2011 lalu pas kirimanku yang sok – sok buat
kejutan ke dia sampek ke Pati. ‘buat bapakku mana??? Bapak juga lagi ultah lho
bulan ini’ . aku jawab aja ‘yah udah itu buat bapak, sampean gak usah’ he he
he. Batu tepat umur 20 tahun di 8 April 2011 dan bapaknya 55 tahun (dari cerita
ibu di rumah sakit). Sampek pertengahan Juli 2011 ketika Batu di Surabaya buat
liburan lima hari, dia sempat cerita lagi kalau ‘Bapak sehat lho’ pas aku
tanyain keadaan bapaknya. Malah sempat aku bongkar – bongkar laptop dan
kulihatin foto – foto keluarganya. Aku yakin ini semua atas kasih sayang
keluarga yang gak pernah habis. Kesetiaan ibu yang jaga dan gantiin peranan
beliau untuk ngurusin beberapa hal.
Sebulan
setelah Juli 2011, aku dan Batu benar benar lost contact. Biasa, keegoisan perasaanku
selalu buat geger. Itu gegeran besar yang kedua kalau gak salah. Padahal lho si
Batu santai aeee ‘jadi gak enak hati kalau inget aku marah – marah ke dia’ maaf yah. Gak tahu ada angin apa, pertengahan
September 2011 kita sms an. Aku minta maaf buat tingkahku. Dibalesnya sehari
setelahnya. Gak biasanya lho bales selama itu. Dia bilang kalau ponakan lagi
kumpul semua di Pati dan disuruh jagain. Oh, alah. Belum ada curiga. Sampek si
Uun sms kalau bapak Batu kena’ serangan dua di ICU sekarang. Aku langsung
telpon Batu dan gak diangkat – angkat. Hopeless. Mungkin dia udah gak mau
nerima telponku. Sejaman setelahnya Batu yang telpon aku dan cerita. Yah Allah,
kenapa mesti gak pernah dilihatin sedihnya ceh neh cowok. Sekali tok aku lihat
dia nangis, maafin aku yah pas itu nakal
ma rewel. Ceritanya mesti yang buat aku ketawa tok. Dalam keadaan bapak nya
di ICUpun dia masih ajakin guyonan via sms. Kalau aku jadi dia, gak tahu harus
gimana posisiku pas itu. Itu juga yang kusuka dari dia ‘gak pernah minta
perhatian orang’.
Akhirnya
gak tahu apa yang buat aku sampek ke Pati, 24 September setahun lalu. Aku
pernah bilang ke dia ‘kapan – kapan aku pengen cium tangan bapakmu bang’ itu
pas aku melow gara – gara cerita tentang ayahku. Dia bilang ‘iya kalau kapan –
kapan kalau ketemu yah’ . Dan aku gak tahu saat aku berdiri di depan ruangan
ICU tentang apa yang akan kulakukan. Aku nurut ketika disuruh menggunakan pakaian
steril warna hijau itu. Aku berjalan dibelakang Batu. Dingin sekali ruangan
itu. Kulihat sosok bapak yang selama ini dikagumi orang disampingku. Kulihat
beberapa selang yang ada di tubuhnya. Baru kali ini aku melihat penderita
stroke serangan dua. Sungguh, aku gak kuat. Pingin nangis, tapi tujuanku buat
kuatin Batu. Gak boleh nangis, tahan, tahan, tahan. Bapak berusaha mengucapkan
sesuatu. Tapi sulit sekali nampaknya. Sampai akhirnya beliau batuk yang aku gak
bisa bayangin gimana sakitnya. Seorang suster datang dan memasukkan selang
untuk mengambil cairan lewat mulut bapak. Subhanallahu. Itu pasti sakit ya
Allah. Batu senggol tanganku dan bilang ‘udah, bapak baik kok’ . Dalam keadaan
gitu dia bilang ‘bapak baik’. Skarat tuh Batu. Kalau gak di ruang ICU dan rumah
sakit, pasti udah ngomel ngalor ngidul nih mulutku denger kata kata ‘bapak
baik’. Yah itulah sosok tegar nya. Kita dekati lagi Bapak ketika suster keluar
ruangan. Batu bisikin bapak dan elus – elus kepala beliau ‘Pi, iki koncoku pas
nang Pare … *gak denger monolognya* ‘
aku ambilkan tissue dan Batu lap’in keringan di badan bapak. Aku pegangin kaki
bapak yang ditutupin selimut. Yah Allah, ini sosok yang sering diceritakan
Batu. Untuk beberapa saat aku gak tahu harus gimana. Aku diam. Aku pandangi.
Yah Allah, bapak kuasaMu. Hanya itu pikiranku. Kita keluar ruangan. Aku sempat
berdiri diam bentar dan masih dalam keadaan yang sebelumnya belum pernah sama
sekali kulihat. Batu berdiri pas di depanku dan ngomong pelan banget ‘udah,
jangan nangis’. Dia tahu banget aku gak mungkin gak nangis kalau masalah ayah
atau sosok bapak.
Setelah
keluar ICU, aku kembali duduk diantara keluarga Batu. Ibu, embak, buliknya,
omnya ma istri, dua ponakanya ‘aliph ma lupa namanya cewek kecil’ ma anak omnya
yang masih kecil juga. Kuat banget ceh mereka. Malah saat itu forum bahas
masalah logat Suroboyoanku. Walaupun aku pake bahasa Jawa alus, tetep accent
Suroboyoanya gak bisa hilang. Asalkan gak misunderstanding aja gak masalah.
Sampek semua mengambil posisi untuk tidur siang di ruang tunggu, aku masih
tetep melek ma mainan HP. Batu udah hilang ma mimpinya di kursi pojok. Tinggal
ibu sendiri duduk depan ruang ICU. Aku hampirin. Aku buka pembicaraan. Ibu
ceritain mulai awal kondisi bapak sakit di 2009 sampek jatuhnya dan nyebabin
stroke serangan dua itu. Ohhh, bapak dulu lurah toh ternyata. Banyak hal yang
diceritain ibu tentang bapak. Lalu ibu menoleh ke Batu yang tidur pulas dan
ngomong ‘kasihan. Bingung mikir antara kuliah karo bapak’e. Mene kudu balik
Semarang’ . Batuuuuu, ibumu mikirin kamu ndulll. Kamu malah pules mimpi di
negeri nan jauh disana. Coba ibu paham IP kuliahmu. MasyaAllah, beneran pengen
tak lemparin sandal tuh cowok pas itu. Sabar, sabar, sabar. Beneran cowok
paling nggemesno arek ikuuu. Pengen sekali aku jelasin masalah IP ke ibu pas
itu biar dijewer kupingnya ^,^ . Apalagi kalau ibu tahu tentang SP yang habisin
duit atau malah bisa buat beli HP baru. Aku timpali kata – kata ibu ‘Batu kuat
kok bu’ padahal pengen njewer kupingnya pas itu biar dia gak nge game trus dan
belajar masalah prinsip –prinsip ekonomi *guemesss*. Sebelum aku mengakhiri
perbincangan dengan ibu, aku keinget pernah dapet kartu nama orang yang bisa
sembuhin stroke. Yes, masih ada di dompetku nomernya. Aku langsung telpon saat
itu juga. Tapi tetep, baru bisa ditangani setelah penderita sadar dari kritis.
Yahhh. Kuberikan kartu nama itu ke ibu jika dibutuhkan suatu saat nanti.
Pukul
15.20 WIP (waktu Indonesia Pati) pas adzan ashar. Ibu nyuruh aku pamitan ke
bapak, dianterin ke ICU ma Batu. Kali ini ada suster yang kaya’ gerandong,
jahat. Harus eyel – eyelan dulu mau masuk ruang ICU. Yah emang kita yang salah,
belum jam kunjungan. Sampek akhirnya Batu bilang ‘anaknya ini mau pulang ke
Surabaya, Sus’ gitu lha intine. ‘satu – satu yah, gantian’ kata si suster
gerandong itu. ‘masuk’o. pake baju itu’ oh God, aku sendiri. Aku lihatin Batu
untuk nguatin mentalku. ‘tak tunggu disini’ katanya di depan ruangan ICU yang
dia bisa lihat bapak dari kaca sambil gandeng tangan Aliph. Aku masuk. Gemetar
banget rasanya. Aku takut Batu, takut nangis. Aku dekatin Bapak. It was my first time meeting him by
myself, I never knew him before. Aku elus pundaknya. Aku pegang tanganya.
Terlihat bapak ingin sekali mengucapkan sesuatu, tapi sangat sulit sekali.
Bapak menangis. Aku bisikin beberapa kata yang aku yakin bapak pasti sehat lagi
setelah ini. Aku tahu bapak sangat ingin membalas kataku, tapi cuma tangis
sebagai isyaratnya. Aku sempat diam beberapa saat dan aku pamit buat pergi. Aku
gak kuat buat tetep diam di ruangan itu menahan haru. Aku keluar dan Batu
hampirin aku berdiri di depanku dan masih ngomong dengan kata yang sama ‘gak
boleh nangis’ . iya, aku janji gak nangis. Aku gak berani lihat mata mu Batu.
Aku tahu kamu cuma sok tegar. Aku tahu kamu sok kuat. Maafin aku yang gak pernah pekah.
Setelah
sholat ashar, kita makan di rumah makan lumayan jauh dari rumah sakit sekalian
anterin aku buat cari bus patas balik Surabaya. Nasi, sambel, bayam ma udang
goreng. Aku lupa belum sarapan pagi. Jatah makan di Tuban yang kudapat dari bus
cuma kusentuh dua sendok. Udangnya banyak banget neh. Gedhe – gedhe pisan. Batu
lebih banyak diam. Aku awali ngobrol. Tapi obrolanya gak ada gregetnya. Hampa
banget rasanya. Aku gak akan nyinggung tentang bapak kalau forum makan. Aku
tahu dia pengen marah ke aku juga pas itu. Dia gak bisa marah orangnya, yah
seperti saat itu. Cukup dengan diam menandakan dia marah. Yah Allah semoga dia
gak marah. Aku nyerocos aja kaya’ biasanya cerita ngalor – ngidul. Kali itu
kuambil tema berat badanku yang turun 7 kg. Cuma dilirik tok ma dia ma senyum
garing dan ngomong ‘gak ketok masih an’. Terus selanjutnya bilang ‘udangnya
habisin’ . Jleb banget yahhh. Iya wes, aku salah. Aku ambil HP yang dikasih’in
dia ke aku pas dia di Surabaya. ‘ini bang, aku udah punya HP lagi kok’ kataku.
Pas itu dia kasih’in HP nya gara – gara si androku ilang. Buat komunikasi
sementara. Di parkiran dia balikin semua buku – bukuku. Kok moment serah terima
gini jadinya ‘mama, aku sedih -.-’. Aku ambil buku dari tasku yang memang
sengaja kukasihkan ke dia buat semangatnya. Dia lirik tasku dan bilang ‘beli di
*tit, merek gak boleh disebut* yoh?’ katanya garing. ‘iyoh. Kaya’ dompet
teddyku yang dijambret’ masih jleb rasanya kalau ingat dompetku yang itu.
‘soale kayak punyae ibuku tapi wes rusak. Kapan beline, kok awet?’ gile, selera
emak donk berarti gue *jitak*. Maiag ancene cowok itu.
Moment
nunggu bus patas di salah satu lampu merah perempatan kota Pati. ‘permen ben
gak ngantuk’ disodorinya relaxa. Sejak kapan relaxa ada rasa kopi biar gak
ngantuk? *mbatin*. Lama mannn. Dia baca tulisan di belakangnya ‘nasi gandul.
Gelem ta?’ -.-a sial nih orang. Gak ngerti perutku muneg – muneg gak jelas gara
– gara nasi sambel udang yang seporsi kuli. Gak ada inisiatif buat bungkusin
kek ^.^ Nasi gandul itu janjinya mulai di Pare, sampek saat itu belum keturutan
aku, sampek ngetik ini juga belum pernah aku maem nasi gandulnya. Lama. Lama.
Lama. Aku suruh dia balik ke rumah sakit aja. Aku lho bisa naik bus sendiri.
Eh, malah ditungguin sampek pas jam 16.25 WIP aku dapet bus.
Pikiranku
gak bisa tenang. Aku gak bisa lupa mata Batu. Aku tahu dia gak mungkin ceritain
hal melow ke aku. Pas senja sore di sepanjang Rembang, otak ini berputar –
putar kepikiran cerita ibu tadi, kondisi bapak dan mata tajam Batu. Lihat senja
itu benar – benar buat melow. Suasanya beneran kok buat risau. Aku sms batu
panjang lebar intinya dia harus tetep kuat. Eh, malah ujung – ujungnya diajakin
sms guyonan sampek tepat aku sampek Babat, Lamongan. Biasa, kalau ada
pendaftaran cowok gak jelas dia sebagai rekomendasi utamaku. Blas, sms apa
jadinya kemana ngalor ngidul ngetan ngulon. Sampek sekarang tuh kalau sms gak
pernah dengan satu tema. A – Z kebahas dan selalu buatku gila kalau naggepin
sms sms nya. Untung aku kuat iman yah Robbb.
Aku
dari rumah di telpon Uun Mufarida 23.06 WIB *waktu orang normal. Deket Batu aku
jadi ikut gak normal kalau masalah waktu yang selalu molor* dan dia teriak –
teriak tanya keadaanku. Wah wes nyampek nih cerita kalau aku dari Pati. Jadi,
Batu kan punya embak. Embaknya punya suami. Suaminya punya adik namanya mbak
Aini. Mbak Aini kenal deket ma Uun karena Uun calon ponakanya. ‘ibunya *Batu*
khawatir karo kamu orang ndulll. Malam – malam cewek di jalan sendirian. Di
suruh nginep gak mau. Gila kamu. Sinting. Seharian di jalan … ‘ *lupa omelan selanjutnya*.
The end of
September 2011. Selamat jalan bapak Batu, Allah telah memberimu tempat nyaman
yaitu keabadian. Allah juga sempat memberikanku teman sharing dengan
ketulusanya kepadaku tepat di dua tahun kita saling mengenal. Tepat setelah dua
tahun itu, aku harus belajar untuk berdiri tegak perlahan tanpa dia.
24 September
2012 untuk Batu teman terbaikku. Ingin kusapa hangat dia seperti ketika dia
tersenyum pertama kali ketika aku lewat di depan mushollah BEC. Terima kasih
Allah, kau berikan aku lagi teman yang hampir satu tahun hilang. Kenyamanan,
sabar, pengertian, sederhana, apa adanya, dan selalu nguatin aku ‘Thonkkk pasti
bisa’. Ide – ide gilanya terus berkembang tuh orang sekarang.
Kubungkus rapat
kado terindah Tuhan tentang ‘my first sight’ Sepenggal Kisah Perempatan Tulungrejo dengan Sepeda Ontel Tua Biru sebagai a part of my life.
Teman
baikku, Batu. September segera berakhir. Be better yah !!! makasih buat semangat - semangatnya kalau 'Thonkkk pasti bisa' ...
By Pithonkkk
No comments:
Post a Comment